Menurut Survei Perbankan Bank Indonesia, permintaan kredit tanpa agunan
(KTA) pada kuartal IV-2012 lalu menunjukkan kenaikan signifikan menjadi
32,6% dibanding kuartal III-2012 yang minus 4,3%. Bank sentral
menyebutkan, ada indikasi masyarakat menggunakan KTA dan kredit
multiguna sebagai alternatif pembelian sepeda motor.
Survei Perbankan BI dilakukan terhadap 43 bank umum yang berkantor pusat
di Jakarta, dengan pangsa pasar sekitar 80% dari nilai total kredit
bank umum secara nasional. Survei tersebut menunjukkan, permintaan
kredit baru pada triwulan IV-2012 semakin meningkat dibandingkan periode
sebelumnya. Hal ini tercermin dari kenaikan saldo bersih tertimbang
(SBT) sebesar 7,4% menjadi 88,7%.
Peningkatan permintaan kredit baru yang cukup tinggi terjadi pada kredit
konsumsi terutama kredit kendaraan bermotor (KKB), kartu kredit dan
KTA. Pasca implementasi kebijakan loan to value (LTV) terhadap kredit
pemilikan rumah (KPR) atau apartemen (KPA) dan KKB, masyarakat
diindikasikan beralih menggunakan KTA dan kredit multiguna sebagai
alternatif pembelian sepeda motor. Itulah catatan BI yang harus
dicermati.
Hal itu tercermin dari melonjaknya SBT permintaan KTA pada triwulan
IV-2012 menjadi 32,6% dari -4,3% pada kuartal III 2012. Sebagian
kalangan perbankan menilai indikasi penggunaan KTA untuk pembelian
sepeda motor yang disebutkan survei BI sangat mungkin terjadi. Maklum,
kini banyak bank gencar memasarkan KTA, contohnya melalui layanan pesan
singkat (SMS) penawaran KTA, yang biasanya untuk keperluan konsumtif.
Meskipun demikian, beberapa bank ditengarai telah menghentikan pemasaran
KTA-nya lantaran Non-Performing Loan (NPL) KTA cenderung terus
meningkat, meskipun masih single digit. Beberapa bank pun menengarai
lonjakan NPL KTA disebabkan adanya faktor moral hazard.
Sebenarnya pihak bank sulit melacak penggunaan KTA oleh pengguna. Untuk
itu, sebelum KTA diberikan kepada penggunanya, sebaiknya pihak bank
lebih selektif dalam menjaring nasabah KTA. Contohnya, KTA diberikan
hanya kepada pegawai perusahaan yang bekerja sama dengan bank, misalnya
di dalam sistem pembayaran gaji (payroll) perusahaan. Bank memilih
strategi ini guna menekan rasio kredit bermasalah (NPL). Maklum saja,
KTA tergolong produk yang berisiko tinggi.
Yang juga menarik, bukan hanya bank konvensional yang tergiur memasarkan
produk KTA, bahkan perbankan syariah pun tergoda. Mereka menilai produk
KTA masih cukup menarik meski risikonya tinggi. Beberapa bank berbasis
syariah diketahui tengah mengkaji produk pembiayaan baru yang mirip
dengan KTA yang ditawarkan perbankan konvensional.
Akad yang kemungkinan bisa dipakai adalah akad tawwaruq yang sudah
diterapkan di Malaysia. Secara prinsip, tawarruq berbeda dengan akad
murabahah. Dalam jual beli murabahah, nasabah akan mendapatkan barang.
Tapi, dalam tawarruq nasabah akan mendapatkan uang. Akad ini tetap
memperhatikan sistem pembayaran, termasuk sejumlah syarat yang harus
dipenuhi oleh nasabah. Produk ini bisa mengakomodasi nasabah Usaha
Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) yang tidak memiliki agunan.
Sejauh ini secara umum bisa dikatakan persaingan KTA relatif masih
terkendali. Lalu, apakah jika demikian kondisinya, lantas KTA ini perlu
diatur, diawasi dan dikendalikan, untuk menghindarkan hal-hal yang tidak
baik di kemudian hari?
Kalau soal diatur, jelas harus diatur, dalam spirit melindungi
kepentingan bank dan juga kepentingan nasabah atau konsumen. Lebih-lebih
otoritas perbankan terus mendengungkan perlunya perlindungan konsumen
(customer protection) di industri keuangan.
Soal diawasi, juga harus demikian. Soalnya, kalau tidak diawasi,
berpotensi menjurus ke situasi persaingan yang tidak sehat, saling
menjatuhkan antarbank atau sesama bank. Tentu ini tidak baik. Nasabah
tidak dididik untuk memilih tawaran produk yang sesuai dengan
kebutuhannya, karena bank hanya fokus dan sibuk berupaya memenangkan
persaingan sehingga lupa dan lalai mengedukasi nasabahnya.
Dalam konteks pendalaman pasar keuangan (financial deepening) yang
kaitannya dengan upaya meningkatkan akses masyarakat ke lembaga keuangan
(financial inclusion), maka secara moral dan profesional, bank
seyogyanya memberikan edukasi kepada masyarakat dalam mereka berhubungan
dengan lembaga keuangan. Semakin terdidik (literate) masyarakat,
semakin baik bagi industri keuangan itu sendiri.
Terakhir, soal pengendalian, perlu dilakukan manakala tingkat kemacetan
KTA sudah sedemikian tinggi melampaui rambu-rambu yang ditetapkan oleh
regulator perbankan. Di sini setipa bank punya ambang batas maksimal
persentase Non Performing Loan (NPL) untuk KTA. Mungkin 5%, mungkin pula
10%, atau bisa juga 15%. Semuanya bergantung kepada risk tolerance dan
risk appetite banknya.
Jadi regulator perbankan tetap harus mengatur, mengawasi dan
mengendalikan produk KTA ini dalam kerangka mendisiplinkan pelaku pasar
(market discipline) sehingga stabilitas sistem keuangan yang ingin
dibangun oleh Bank Indonesia (BI) selalu regulator dapat diwujudkan.
Tentu sebelum sebuah produk KTA diijinkan untuk dipasarkan, BI sudah
melakukan verifikasi atas produk itu utamanya dari aspek risiko dan
mitigasinya serta aspek perlindungan nasabah. Dengan karakter KTA yang
multiguna, maka BI berkepentingan agar tingkat usage-nya dapat
dikendalikan untuk mencegah ancaman inflasi dari sisi konsumsi.
Sebagai perbandingan, pembatasan kepemilikan kartu kredit bagi nasabah
berpenghasilan di bawah Rp 10 juta per bulan, salah satunya juga
dimaksudkan untuk mencegah terjadinya booming kartu kredit yang tidak
sehat dan tidak berkualitas.
Di luar aspek pengaturan, pengawasan dan pengendalian KTA, diyakini
setiap bank tentu sudah menerapkan manajemen risiko kredit yang baik
mengacu kepada regulasi umum maupun internal policy masing-masing.
Jadi, kesan bahwa memperoleh KTA itu mudah, sepertinya tidak demikian,
karena credit assessment dilakukan dengan ketat, sehingga mereka yang
eligible untuk memperoleh KTA benar-benar yang prospektif karena punya
repayment capacity yang baik. Selain tentu character yang baik yang
tecermin dari rekam jejak (track record)-nya.
Itu untuk memberikan pandangan bahwa bank tidak akan gegabah atau
sembrono dalam menyalurkan kredit, apapun jenis kreditnya, termasuk KTA,
kepada calon debitur, tanpa melalui proses kredit yang baik dan
profesional. Sistem kredit yang diterapkan oleh setiap bank pasti sudah
mengakomodasi prinsip kredit yang sehat.
Ini sekaligus menjelaskan, kendati muncul kesan bank-bank seolah
mengejar setoran untuk KTA, tapi sebetulnya prinsip kehati-hatian
(prudential banking principles) tetap menjadi landasan utama proses
kredit. Kalau tidak demikian, seperti sudah disinggung di atas, maka
ancaman NPL bakal terus mengancam.
Ingat, kenaikan NPL mewajibkan bank membentuk CKPN (Cadangan Kerugian
Penurunan Nilai) atau dikenal pula dengan istilah provisi. Semakin besar
CKPN-nya, semakin menggerogoti potensi keuntungan bank. Jadi, prinsip
kehati-hatian tetap wajib dipatuhi dalam konteks KTA ini.
Walau pun nilai kredit yang diberikan kepada setiap individu terbilang
relatif kecil (maksimal Rp 200 juta), tapi secara kumulatif nilainya
menjadi sangat besar lantaran menyangkut penerima KTA yang jumlahnya
banyak. Intinya, pemantauan kredit tetap harus dilakukan oleh bank. Juga
saat pemenuhan kewajiban oleh debitur mengalami kendala atau gangguan,
maka penyelesaiannya harus win-win.
Bank juga menyadari, KTA ini merupakan alternatif pembiayaan bagi
individu perorangan yang karena sesuatu dan lain sebab, mereka prefer
untuk memilih KTA sebagai opsinya. Dengan mengacu kepada prinsip
“customer centric approach”, bank-bank menyediakan opsi-opsi produk yang
sesuai dengan kebutuhan dan preferensi nasabahnya.
Patut dicatat pula, meskipun KTA ini tampaknya seperti tidak
mensyaratkan “agunan”, tapi sebenarnya yang menjadi jaminan pokoknya
adalah kemampuan nasabah dalam memenuhi kewajibannya kepada bank.
Darimana bank mendapatkan kepastian bahwa jaminan itu dapat dipenuhi,
yakni dari penilaian yang dilakukan bank terhadap profil calon nasabah
dengan riwayatnya dalam berhubungan dengan bank.
Harus dipahami, ibarat seorang hakim pengadilan yang wajib berlandaskan
“keyakinan” yang kuat sebelum palunya dijatuhkan untuk memutuskan
hukuman kepada terdakwa, maka pejabat kredit juga harus dilandasi oleh
“keyakinan” yang kuat sebelum perjanjian kredit ditandatangani oleh
kedua belah pihak (bank dan debitur) bahwa calon debitur diyakini mampu
memenuhi kewajibannya kelak setelah kredit dicairkan.
Penerima KTA juga dituntut patuh dan disiplin dalam memenuhi
kewajibannya kepada bank agar terhindar dari sanksi yang dijatuhkan oleh
bank. Justru apabila nasabah diidentifikasi oleh bank loyal dalam
memenuhi kewajibannya, mungkin saja bank akan menawarkan produk lain
baik dari sisi liabilities (produk dana) maupun produk dari sisi assets
(kredit) serta jasa keuangan lainnya (services) dengan tarif yang
kompetitif.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar