MENCERMATI PERSAINGAN KREDIT TANPA AGUNAN

Rabu, 27 Februari 2013

Menurut Survei Perbankan Bank Indonesia, permintaan kredit tanpa agunan (KTA) pada kuartal IV-2012 lalu menunjukkan kenaikan signifikan menjadi 32,6% dibanding kuartal III-2012 yang minus 4,3%. Bank sentral menyebutkan, ada indikasi masyarakat menggunakan KTA dan kredit multiguna sebagai alternatif pembelian sepeda motor.
Survei Perbankan BI dilakukan terhadap 43 bank umum yang berkantor pusat di Jakarta, dengan pangsa pasar sekitar 80% dari nilai total kredit bank umum secara nasional. Survei tersebut menunjukkan, permintaan kredit baru pada triwulan IV-2012 semakin meningkat dibandingkan periode sebelumnya. Hal ini tercermin dari kenaikan saldo bersih tertimbang (SBT) sebesar 7,4% menjadi 88,7%.
Peningkatan permintaan kredit baru yang cukup tinggi terjadi pada kredit konsumsi terutama kredit kendaraan bermotor (KKB), kartu kredit dan KTA. Pasca implementasi kebijakan loan to value (LTV) terhadap kredit pemilikan rumah (KPR) atau apartemen (KPA) dan KKB, masyarakat diindikasikan beralih menggunakan KTA dan kredit multiguna sebagai alternatif pembelian sepeda motor. Itulah catatan BI yang harus dicermati.

Hal itu tercermin dari melonjaknya SBT permintaan KTA pada triwulan IV-2012 menjadi 32,6% dari -4,3% pada kuartal III 2012. Sebagian kalangan perbankan menilai indikasi penggunaan KTA untuk pembelian sepeda motor yang disebutkan survei BI sangat mungkin terjadi. Maklum, kini banyak bank gencar memasarkan KTA, contohnya melalui layanan pesan singkat (SMS) penawaran KTA, yang biasanya untuk keperluan konsumtif.
Meskipun demikian, beberapa bank ditengarai telah menghentikan pemasaran KTA-nya lantaran Non-Performing Loan (NPL) KTA cenderung terus meningkat, meskipun masih single digit. Beberapa bank pun menengarai lonjakan NPL KTA disebabkan adanya faktor moral hazard.
Sebenarnya pihak bank sulit melacak penggunaan KTA oleh pengguna. Untuk itu, sebelum KTA diberikan kepada penggunanya, sebaiknya pihak bank lebih selektif dalam menjaring nasabah KTA. Contohnya, KTA diberikan hanya kepada pegawai perusahaan yang bekerja sama dengan bank, misalnya di dalam sistem pembayaran gaji (payroll) perusahaan. Bank memilih strategi ini guna menekan rasio kredit bermasalah (NPL). Maklum saja, KTA tergolong produk yang berisiko tinggi.
Yang juga menarik, bukan hanya bank konvensional yang tergiur memasarkan produk KTA, bahkan perbankan syariah pun tergoda. Mereka menilai produk KTA masih cukup menarik meski risikonya tinggi. Beberapa bank berbasis syariah diketahui tengah mengkaji produk pembiayaan baru yang mirip dengan KTA yang ditawarkan perbankan konvensional.
Akad yang kemungkinan bisa dipakai adalah akad tawwaruq yang sudah diterapkan di Malaysia. Secara prinsip, tawarruq berbeda dengan akad murabahah. Dalam jual beli murabahah, nasabah akan mendapatkan barang. Tapi, dalam tawarruq nasabah akan mendapatkan uang. Akad ini tetap memperhatikan sistem pembayaran, termasuk sejumlah syarat yang harus dipenuhi oleh nasabah. Produk ini bisa mengakomodasi nasabah Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) yang tidak memiliki agunan.
Sejauh ini secara umum bisa dikatakan persaingan KTA relatif masih terkendali. Lalu, apakah jika demikian kondisinya, lantas KTA ini perlu diatur, diawasi dan dikendalikan, untuk menghindarkan hal-hal yang tidak baik di kemudian hari?
Kalau soal diatur, jelas harus diatur, dalam spirit melindungi kepentingan bank dan juga kepentingan nasabah atau konsumen. Lebih-lebih otoritas perbankan terus mendengungkan perlunya perlindungan konsumen (customer protection) di industri keuangan.
Soal diawasi, juga harus demikian. Soalnya, kalau tidak diawasi, berpotensi menjurus ke situasi persaingan yang tidak sehat, saling menjatuhkan antarbank atau sesama bank. Tentu ini tidak baik. Nasabah tidak dididik untuk memilih tawaran produk yang sesuai dengan kebutuhannya, karena bank hanya fokus dan sibuk berupaya memenangkan persaingan sehingga lupa dan lalai mengedukasi nasabahnya.
Dalam konteks pendalaman pasar keuangan (financial deepening) yang kaitannya dengan upaya meningkatkan akses masyarakat ke lembaga keuangan (financial inclusion), maka secara moral dan profesional, bank seyogyanya memberikan edukasi kepada masyarakat dalam mereka berhubungan dengan lembaga keuangan. Semakin terdidik (literate) masyarakat, semakin baik bagi industri keuangan itu sendiri.
Terakhir, soal pengendalian, perlu dilakukan manakala tingkat kemacetan KTA sudah sedemikian tinggi melampaui rambu-rambu yang ditetapkan oleh regulator perbankan. Di sini setipa bank punya ambang batas maksimal persentase Non Performing Loan (NPL) untuk KTA. Mungkin 5%, mungkin pula 10%, atau bisa juga 15%. Semuanya bergantung kepada risk tolerance dan risk appetite banknya.
Jadi regulator perbankan tetap harus mengatur, mengawasi dan mengendalikan produk KTA ini dalam kerangka mendisiplinkan pelaku pasar (market discipline) sehingga stabilitas sistem keuangan yang ingin dibangun oleh Bank Indonesia (BI) selalu regulator dapat diwujudkan.
Tentu sebelum sebuah produk KTA diijinkan untuk dipasarkan, BI sudah melakukan verifikasi atas produk itu utamanya dari aspek risiko dan mitigasinya serta aspek perlindungan nasabah. Dengan karakter KTA yang multiguna, maka BI berkepentingan agar tingkat usage-nya dapat dikendalikan untuk mencegah ancaman inflasi dari sisi konsumsi.
Sebagai perbandingan, pembatasan kepemilikan kartu kredit bagi nasabah berpenghasilan di bawah Rp 10 juta per bulan, salah satunya juga dimaksudkan untuk mencegah terjadinya booming kartu kredit yang tidak sehat dan tidak berkualitas.
Di luar aspek pengaturan, pengawasan dan pengendalian KTA, diyakini setiap bank tentu sudah menerapkan manajemen risiko kredit yang baik mengacu kepada regulasi umum maupun internal policy masing-masing.
Jadi, kesan bahwa memperoleh KTA itu mudah, sepertinya tidak demikian, karena credit assessment dilakukan dengan ketat, sehingga mereka yang eligible untuk memperoleh KTA benar-benar yang prospektif karena punya repayment capacity yang baik. Selain tentu character yang baik yang tecermin dari rekam jejak (track record)-nya.
Itu untuk memberikan pandangan bahwa bank tidak akan gegabah atau sembrono dalam menyalurkan kredit, apapun jenis kreditnya, termasuk KTA, kepada calon debitur, tanpa melalui proses kredit yang baik dan profesional. Sistem kredit yang diterapkan oleh setiap bank pasti sudah mengakomodasi prinsip kredit yang sehat.
Ini sekaligus menjelaskan, kendati muncul kesan bank-bank seolah mengejar setoran untuk KTA, tapi sebetulnya prinsip kehati-hatian (prudential banking principles) tetap menjadi landasan utama proses kredit. Kalau tidak demikian, seperti sudah disinggung di atas, maka ancaman NPL bakal terus mengancam.
Ingat, kenaikan NPL mewajibkan bank membentuk CKPN (Cadangan Kerugian Penurunan Nilai) atau dikenal pula dengan istilah provisi. Semakin besar CKPN-nya, semakin menggerogoti potensi keuntungan bank.  Jadi, prinsip kehati-hatian tetap wajib dipatuhi dalam konteks KTA ini.
Walau pun nilai kredit yang diberikan kepada setiap individu terbilang relatif kecil (maksimal Rp 200 juta), tapi secara kumulatif nilainya menjadi sangat besar lantaran menyangkut penerima KTA yang jumlahnya banyak. Intinya, pemantauan kredit tetap harus dilakukan oleh bank. Juga saat pemenuhan kewajiban oleh debitur mengalami kendala atau gangguan, maka penyelesaiannya harus win-win.
Bank juga menyadari, KTA ini merupakan alternatif pembiayaan bagi individu perorangan yang karena sesuatu dan lain sebab, mereka prefer untuk memilih KTA sebagai opsinya. Dengan mengacu kepada prinsip “customer centric approach”, bank-bank menyediakan opsi-opsi produk yang sesuai dengan kebutuhan dan preferensi nasabahnya.
Patut dicatat pula, meskipun KTA ini tampaknya seperti tidak mensyaratkan “agunan”, tapi sebenarnya yang menjadi jaminan pokoknya adalah kemampuan nasabah dalam memenuhi kewajibannya kepada bank. Darimana bank mendapatkan kepastian bahwa jaminan itu dapat dipenuhi, yakni dari penilaian yang dilakukan bank terhadap profil calon nasabah dengan riwayatnya dalam berhubungan dengan bank.
Harus dipahami, ibarat seorang hakim pengadilan yang wajib berlandaskan “keyakinan” yang kuat sebelum palunya dijatuhkan untuk memutuskan hukuman kepada terdakwa, maka pejabat kredit juga harus dilandasi oleh “keyakinan” yang kuat sebelum perjanjian kredit ditandatangani oleh kedua belah pihak (bank dan debitur) bahwa calon debitur diyakini mampu memenuhi kewajibannya kelak setelah kredit dicairkan.
Penerima KTA juga dituntut patuh dan disiplin dalam memenuhi kewajibannya kepada bank agar terhindar dari sanksi yang dijatuhkan oleh bank. Justru apabila nasabah diidentifikasi oleh bank loyal dalam memenuhi kewajibannya, mungkin saja bank akan menawarkan produk lain baik dari sisi liabilities (produk dana) maupun produk dari sisi assets (kredit) serta jasa keuangan lainnya (services) dengan tarif yang kompetitif.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 

Kontak Kami

Nama

Email *

Pesan *

Most Reading